Minggu

Ningsih masih perawan membuatku semakin Binal


 Ningsih masih perawan membuatku semakin Binal  Cerita Dewasa – Sebut saja namaku Paul. Saya bekerja di satu lembaga pemerintahan di kota S, terkecuali juga mempunyai satu usaha wiraswasta. Sebenarnya saya telah menikah, bahkan juga rasa-rasanya istriku tahu bakal hobyku mencari daun-daun muda untuk “obat awet muda”. 

Kebiasaanku Mencari Daun Muda Untuk Menyalurkan Keinginan Seks 
Mencari Daun Muda Untuk Menyalurkan Keinginan Seks 

Serta memanglah pekerjaanku mendukung karenanya, baik dari sisi koneksi ataupun dari sisi finansial. Tetapi sejak istriku tahu saya mempunyai sangat banyak simpanan, satu hari ia meninggalkanku tanpa ada pamit. 

Biarkanlah, jadi saya dapat lebih bebas menyalurkan keinginan. Lantaran pembantu yang lama keluar untuk kawin di desanya, saya sangat terpaksa mencari penggantinya di agen. Bukanlah saja lantaran beragam pekerjaan tempat tinggal tidak terurus, juga rasa-rasanya kehilangan “obat stress”. Salah seseorang calon yang menarik perhatianku bernama Ningsih, baru berumur (nyaris) 16 th., wajahnya cukup manis, dengan lesung pipit. 

Matanya sedikit sayu serta bibirnya kecil seksi. Kalau kulitnya tak sawo masak (walau bersih serta mulus juga), dia telah bebrapa serupa artis sinetron. Walau mungil, bodinya padat, serta yang terutama, dari sikapnya saya meyakini pengalaman gadis itu tak sepolos berwajah. 

Tanpa ada banyak bertanya, segera dia kuterima. Serta sesudah sekian hari, dapat dibuktikan Ningsih memanglah cukup cekatan mengurusi tempat tinggal. Tetapi sekian kali juga saya memergokinya tengah repot di dapur dengan kenakan kaos ketat serta rok yang begitu mini. Tanpa ada menyia-nyiakan peluang, saya mendekat dari belakang serta kucubit paha gadis itu. 

Ningsih terpekik kaget, tetapi sesudah sadar majikannya yang berdiri di belakangnya, ia cuma merengut manja. Sore ini sepulang kerja saya kembali di buat melotot disajikan panorama yang ‘menegangkan’ waktu Ningsih yang cuma berdaster tidak tebal menungging tengah mengepel lantai, pantatnya yang montok bergoyang kiri-kanan. 

Terlihat garis celana dalamnya membayang dibalik dasternya. Tak tahan membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat Ningsih keras-keras. “Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya kok merangsang sekali! ” Ningsih terkikik geli mendengar komentarku, serta kembali melanjutkan pekerjaannya. 

Dengan berniat pantatnya jadi digoyang makin keras. Geli lihat tingkah Ningsih, kupegang pantat gadis itu kuat-kuat untuk menahan goyangannya. Waktu Ningsih tertawa cekikikan, jempolku berniat mengelus selangkangan gadis itu, hentikan tawanya. 

Lantaran diam saja, perlahan-lahan kuelus paha Ningsih ke atas, menyingkapkan ujung dasternya. ”Eh.. Ndoro.. janganlah..! ” hindari Ningsih lirih. “Nggak pa-pa, tidak usah takut, Nduk..! ” “Jangan, Ndoro.. malu.. janganlah saat ini..! ” Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan ember serta kain pel, lantas bergegas menuju ke dapur. 

Malam harinya melalui intercom saya memanggil Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal. Sepanjang hari penuh bersidang memanglah memerlukan stamina yang sempurna. Supaya tenagaku sembuh untuk kepentingan besok, tak ada kelirunya berikan pengalaman pada orang baru. Gadis itu nampak masihlah dengan daster merah tipisnya sembari membawa minyak gosok. 

Ningsih duduk diatas ranjang di samping badanku. Sesaat jemari lentik Ningsih memijati punggung, kutanya, “Nduk, anda telah miliki pacar belum..? ” “Disini belum Ndoro.. ” jawab gadis itu. “Disini belum..? Bermakna diluar sini telah..? ” Sembari tertawa malu-malu gadis itu menjawab lagi, 

“Dulu di desa saya pernah, namun telah saya putus. ” “Lho, mengapa..? ” “Habis ingin nikmatnya saja dia. ” “Mau nikmatnya saja bagaimana..? ” kejarku. “Eh.. itu, ya.. maunya ngajak gituan selalu, namun bila di ajak kawin tidak mau. ” Saya membalikkan tubuh supaya dadaku juga ikut dipijat. Ya.. itu.. ngajak kelonan.. tidur telanjang bareng..” “Kamu mau aja..?” “Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak mau..!” Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?” “Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas tapi tetep perawan.” Aku semakin terbahak,

“Kalau kamu juga puas, terus kenapa diputus..?” “Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin malah main mata sama cewek lain! Untung Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai sekarang Ningsih masih perawan.” “Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin nyoba yang beneran..?” godaku.

Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh.. katanya sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?” Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku sambil menggosokkan minyak ke perutku. Saat gadis itu sedikit membungkuk, dari balik dasternya yang longgar tampak belahan buah dadanya yang montok alami tanpa penopang apapun. Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha Ningsih yang terkangkang, aku menggoda,

“Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang beneran atau cuma diemut..?” Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm.. memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih kan cuma pembantu? Cuma pelayan?” “Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?” Ningsih hanya tersenyum malu. “Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan orangnya..!”

“Ehm.., kalau hamil gimana..?” “Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung jawab..” Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih menuruti dan menanggalkan dasternya. Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku, gadis itu dengan tersipu menyilangkan tangannya untuk menutupi kemontokan kedua payudaranya.

Untuk beberapa saat aku memuaskan mata memandangi tubuh montok yang nyaris telanjang, sementara Ningsih dengan jengah membuang wajah. Dengan tidak sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk mulus agar ia berbaring di sisiku. Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih merasakan berbaring di atas kasur seempuk ini.

Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang lesung pipit, menggerayangi sekujur tubuhnya dan meremas-remas kedua payudaranya yang kenyal menggiurkan. Puting susunya yang kemerahan terasa keras mengacung. Kedua payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun montok pas segenggaman tangan.

Dan kedua bukit itu berdiri tegak menantang, tidak menggantung. Gadis desa ini memang sedang ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan dinikmati. “Mmmhh.. Oh! Ahh! Oh.. Ndoroo.. eh.. mm.. burungnya.. mau Ningsih emut dulu nggak..?” tanya gadis itu diantara nafasnya yang terengah-engah.

“Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru kamu boleh emut.” Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Sambil menyibakkan rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat besarnya kejantananku.

Mungkin ia membayangkan bagaimana benda berotot sebesar itu dapat masuk di tubuhnya. Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa ketika Ningsih mulai mengulum kejantananku, memainkan lidahnya dan menghisap dengan mulut mungilnya sampai pipinya ‘kempot’. Gadis ini ternyata pintar membuat kejantananku cepat gagah.

“Ehm.. srrp.. mm.. crup! Ahmm.. mm.. mmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-keyas(jangan keras-keras)..! Srrp..!” Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku meraih payudaranya yang montok dan meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan tangan kananku kini mengelus belahan pantat Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang rambutnya. Maklum, masih perawan.

Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara ketika jemariku menyibakkan bibir kemaluannya dan menelusup dalam kemaluannya yang masih perawan. Merasa kejantananku sudah cukup gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau cukur di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang. Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil bantal berusaha untuk menutupi ketelanjangannya.

Malu-malu gadis itu menuruti perintah majikannya berbaring telentang menekuk lutut dan merenggangkan pahanya, mempertontonkan rambut kemaluannya yang hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam, langsung kucukur habis rambut di selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena perih tanpa berani menolak.

Kini bibir kemaluan Ningsih mulus kemerah-merahan seperti kemaluan seorang gadis yang belum cukup umur, namun dengan payudara yang kencang. Dengan sigap aku menindih tubuh montok menggiurkan yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih membuang wajah dan menutupi payudaranya dengan telapak tangan.

Namun segera kutarik kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu menyibakkan paha gadis itu yang sudah mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan mata menantikan saatnya mempersembahkan keperawanannya. Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir saat jemariku mempermainkan bibir kemaluannya yang basah terangsang.

Perlahan kedua paha mulus Ningsih terkangkang semakin lebar. Aku menyapukan ujung kejantananku pada bibir kemaluan gadis itu, membuat nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti, kejantananku menerobos masuk ke dalam kehangatan tubuh perawan Ningsih.

Ketika selaput dara gadis manis itu sedikit menghalangi, dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung kejantananku menyodok dasar liang kemaluan Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini kecil dan sangat dangkal. Kejantananku hanya dapat masuk seluruhnya dalam kehangatan keperawanannya bila didorong cukup kuat sampai menekan dasar kemaluannya.

Itu pun segera terdesak keluar lagi. Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih menyengat di selangkangannya saat kurenggutkan keperawanan yang selama ini telah dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya berani meremas-remas bantal di kepalanya sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata gadis itu tak terasa menitik dari sudut mata, mengaburkan pandangannya.

Ningsih merintih kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati kehangatan kemaluannya yang serasa ‘megap-megap’ dijejali benda sebesar itu. Namun rasa sakit dan pedih di selangkangannya perlahan tertutup oleh sensasi geli-geli nikmat yang luar biasa. Tiap kali kejantananku menekan dasar kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu bercampur nikmat yang belum pernah dirasakannya.

Kejantananku bagai diremas-remas dalam liang kemaluan Ningsih yang begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa kudorong kejantananku sampai masuk seluruhnya dalam selangkangan gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil merintih nikmat tiap kali dasar kemaluannya disodok.

“Ahh.. Ndoro..! Aa.. ah..! Aaa.. ahk..! Oooh..! Ndoroo.. Ningsih pengen.. pih.. pipiis..! Aaa.. aahh..!” Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih dengan cepat terorgasme. “Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..! Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh pipis..!”

Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot selangkangannya sekuat tenaga berusaha menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng dengan mata terpejam, membuat rambutnya berantakan, namun beberapa saat kemudian.. “Nggak tahan Ndoroo..! Ngh..! Ngh..! Nggh! Aaaii.. iik..! Aaa.. aahk..!” Tanpa dapat ditahan-tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah tindihanku sambil memekik dengan nafas tersengal-sengal.

Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat tubuh majikannya, dan kemaluannya yang begitu rapat bergerak mencucup-cucup. Berpura-pura marah, aku menghentikan genjotannya dan menarik kejantananku keluar dari tubuh Ningsih.

“Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas kalau berani pipis lagi..!” Tampak kejantananku bersimbah cairan bening bercampur kemerahan, tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis itu mengira majikannya sudah selesai, memejamkan mata sambil tersenyum puas dan mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di pangkal paha gadis itu tampak juga darah perawan menitik dari bibir kemaluannya yang perlahan menutup.

Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu mendorong sebuah bantal empuk ke bawah pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu agak melengkung karena pantatnya diganjal bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih tubuh montok Ningsih, dan kembali kutancapkan kejantananku dalam liang kemaluan gadis itu.

Dengan posisi pantat terganjal, klentit Ningsih yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga ketika aku kembali melanjutkan tusukanku, gadis itu tergelinjang dan terpekik merasakan sensasi yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan. “Mau terus apa brenti, Nduk..?” godaku.

“Aii.. iih..! He.. eh..! Terus Ndoroo..! Enak..! Enak..! Aahh.. Aii.. iik..!” Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan manjanya. “Ooo.. ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis.. lagii.. iih..!” “Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!” “Aa.. aak..! Ampuu.. unnhh..! Ningsih nggak kuat.. Ndoroo..!” Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.

Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali tubuh telanjangnya tergerinjal saat kusodok dasar liang kegadisannya, membuat kedua pahanya tersentak mengangkang semakin lebar, semakin mempermudah aku menikmati tubuh perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga kuremas-remas kedua payudara Ningsih hingga tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu kuatnya remasanku hingga cairan putih susu menitik keluar dari putingnya yang kecoklatan.

“Ahhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndoroo..! Ningsih mau pipiiss..!” Dengan maksud menggoda gadis itu, aku menghentikan sodokannya dan mencabut kejantanannya justru disaat Ningsih mulai orgasme. “Mau pipis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal. “Oohh.. Ndoroo.. terusin dong..! Cuma ‘dikit, nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja. “Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro pipisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura marah.

Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini kemerah-merahan dan bergerak berdenyut. “Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani Ndoro..!” Ningsih memeluk dan berusaha menarik tubuhku agar kembali menindih tubuhnya. Rasanya sebentarlagi gadis itu mau pipis untuk ketiga kalinya.

“Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho Nduk..?” kuremas kedua buah dada montok Ningsih. “Engh.. Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu berkerut menahan pipis. “Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman tangannya hingga payudara gadis itu seperti balon melotot dan cairan putih susu kembali menetes dari putingnya.

“Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!” Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya remasan-remasanku yang bukannya dilepas malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu segera merasakan ganjarannya saat kejantananku kembali menghajar kemaluannya. Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan kuat.

“Ngh..! Ngh..! Ngghh..! Ahk.. Aaa.. aahh..! Ndoroo.. ampuu.. uun..!” Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring pekikan manjanya. Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak membuat aku semakin gemas menggeluti tubuh perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua bukit montok yang berdiri menantang di hadapanku dan meremasinya dengan kuat, meninggalkan bekas kemerahan di kulit payudara Ningsih.

Sementara genjotan demi genjotan kejantananku menyodok kemaluan gadis itu yang hangat mencucup-cucup menggiurkan, bagai memohon semburan puncak. Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas mana bawah, kenikmatan luar biasa tidak henti-hentinya memancar dari selangkangannya.

Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik manja. Kedua pahanya yang sehari-hari biasanya disilangkan rapat-rapat, kini terkangkang lebar, sementara liang kemaluannya tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup kejantananku yang begitu perkasa menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah bersimbah keringat.

“Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan ya..!” Gemas kucengkeram kedua buah dada Ningsih erat-erat sambil menghentakkan kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan dangkal gadis itu. Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap kali dasar kemaluannya disodok.

Pantat gadis itu yang terganjal bantal empuk berulangkali tersentak naik menahan nikmat. “Oooh.. Ndoroo..! Ahk..! Ampun..! Ampun Ndoroo..! Sudah..! Ampuu.. unn..!” Ningsih merintih memohon ampun tidak sanggup lagi merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda. Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah tidak akan pernah selesai. Tidak terasa air matanya kembali berlinang membasahi pipinya.

Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa daya, paha mulusnya tersentak terkangkang tiap kali kemaluannya dijejali kejantananku, nafasnya tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus asa Ningsih merengek memohon ampun, majikannya bagai tak kenal lelah terus menggagahi kegadisannya.

Bagi gadis itu seperti bertahun-tahun ia telah melayani majikannya dengan pasrah. Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme berkepanjangan, aku tarik paha Ningsih ke atas hingga menyentuh payudaranya dan merapatkannya. Akibatnya kemaluan gadis itu menjadi semakin sempit menjepit kejantananku yang terus menghentak keluar masuk.

Ningsih berusaha kembali mengangkang, namun dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan berputar-putar, sedangkan bibirnya merah merekah membentuk huruf ‘O’ tanpa ada suara yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat yang luar biasa di selangkangannya kini semakin menjadi-jadi.

Aku semakin bersemangat menggenjotkan kejantananku dalam hangatnya cengkeraman pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu terpekik-pekik nikmat dengan tubuh terdorong menyentak ke atas tiap kali kemaluannya disodok keras. “Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku semakin geram merasakan kemaluan Ningsih yang begitu sempit dan dangkal seperti mencucup-cucup kejantananku. “Ahh..! Ampuu..uun.. ampun.. Ndoro! Aduh.. sakiit.. ampuu.. un..!”

Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak, dengan gemas kuremas kedua payudara Ningsih yang kemerah-merahan berkilat bersimbah keringat dan cairan putih dari putingnya, menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih melesak dalam empuknya ranjang. Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya yang padat telanjang dan ‘peret’-nya kemaluannya yang masih perawan membuatku semakin hebat menggeluti gadis itu.

“Aduh! Aduu.. uuhh.. sakit Ndoro! Aaah.. aamm.. aammpuun.. ampuu.. uun Ndoro.. Ningsih.. pipii.. iis! Aaamm.. puun..!” Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh cengkeraman tanganku pada kedua buah dada Ningsih yang halus mulus.

Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma dalam cucupan kemaluan Ningsih yang hangat menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga meremas-remas kedua buah dada gadis itu, membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan nikmat. “Ahk! Auh..! Aaa.. aauuhh! Oh.. ampuu..uun Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuun! Amm.. mmh..!Aaa.. aakh..!”

Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi tubuh Ningsih yang sintal, membuat gadis itu turut terguling ke samping, namun kemudian gadis itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak bahagia, Ningsih memeluk tubuhku dan mengelus-elus punggungku. Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk menaikkan gaji Ningsih beberapa kali lipat, agar gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat melayaniku setiap saat.

Dengan tubuh yang masih gemetar dan lemas, Ningsih perlahan turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat di samping ranjang. Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu, Nduk..?” “Katanya.. biar nggak hamil harus lompat.. lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun. END“Gituan bagaimana? Memangnya anda tidak sukai..? ” Muka Ningsih memerah, 

Related Posts

Ningsih masih perawan membuatku semakin Binal
4/ 5
Oleh

Cewek Bisyar, cerita selingkuh dengan teman kantor, Toket tante, cerita cewek bispak, cerita sex dewasa, cerita sex dokter, cerita sex Tante, cerita setengah baya, cerita toket, ngentot basah.