Selasa

Vina datang Astaga, mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya


Vina datang Astaga, mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya Cerita Dewasa – Siang itu, hpku berbunyi, serta nada merdu dari seberang sana memanggil. “Di, anda ke rumahku duluan deh sana, saya masihlah meeting. Daripada anda terkena macet di jalan, mendingan jalan saat ini gih sana. ” 

Jadi Orang Ke-2 Yang Pernah Menyetubuhi Kakak Pacar ku 

“Oke deh, saya menuju tempat tinggal anda saat ini. Anda meeting hingga jam berapakah? ” “Yah, sore telah pulang deh, tunggulah saja dirumah. ” Meluncurlah saya dengan motor Honda ke satu tempat tinggal di satu diantara kompleks di Jakarta. Vina memanglah karirnya tengah naik daun, serta dia banyak lakukan meeting belakangan ini. Saya sih telah miliki posisi lumayan di kantor. 

Cuma saja, kemacetan di kota ini demikian kronis, jadi tambah baik beli motor saja daripada beli mobil. Vina juga tidak keberatan mengarungi pelosok-pelosok kota dengan motor bersamaku. Kebetulan, pekerjaanku di satu biro iklan bikin saya dapat pulang di dalam hari, namun dapat pula hingga bermalam di kantor bila ada proyek yang perlu dikerjakan habis-habisan. 

Vina, pacarku, memperoleh sarana antar jemput dari kantornya. Jadi, saya dapat tenang saja pergi ke tempat tinggalnya tanpa ada butuh menjemputnya lebih dahulu. Sesampai di tempat tinggalnya, pagar tempat tinggal masihlah tertutup walaupun tak terkunci. Saya mengetok pagar, serta keluarlah Marta, kakak Vina, untuk buka pintu. 

“Loh, tidak kerja? ” tanyaku. “Nggak, saya izin dari kantor ingin ngurus paspor, ” jawabnya sembari buka pintu pagarnya yang berupa rolling door lebar-lebar supaya motorku masuk kedalam. “Nyokap ke mana? ” tanyaku lagi. “Oh, dia lagi ke tempat tinggal rekannya tuh, ngurusin arisan, ” kata Marta, 

“Kamu ingin duduk dimana Dodi? Didalam nonton TV juga bisa, atau bila ingin di teras ya tidak apa juga. nanti yah, saya ambilin minum. ” Sesudah motor parkir didalam pekarangan tempat tinggal, kututup pagar tempat tinggalnya. Saya memanglah akrab dengan kakak Vina ini, umurnya cuma sekitaran dua th. dari umurku. Yah, saya menanti di teras sajalah, canggung juga rasa-rasanya duduk nonton TV berbarengan Marta, terlebih dia tengah gunakan celana pendek serta kaos oblong. 

Sesudah sebagian lama menanti Vina di teras tempat tinggal, saya celingukan juga tidak tahu ingin buat apa. Iseng, saya melongok ke ruangan tamu, akan lihat acara tv. Wah, nyatanya mataku jadi terpana pada paha yang putih mulus dengan kaki menjulur ke depan. Kaki Marta nyatanya begitu mulus, kulitnya putih menguning. 

Marta sedang melihat TV di lantai dengan kaki berjelonjor ke depan. Terkadang dia duduk bersila. Pakaian kaosnya yang tidak tebal khas kaos tempat tinggal memperlihatkan tali-tali BH yang dapat kutebak berwarna putih. Saya cuma berani sekali-kali mengintip dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruangan tamu, kemudian barulah ruangan nonton TV. 

Bila saya melongokkan kepalaku semuanya, yah segera terlihatlah wajahku. Namun rasa-rasanya ada hasrat untuk lihat dari dekat paha itu, agar cuma sekilas. Saya berdiri. “Ta, ada koran tidak yah, ” kataku sembari berdiri masuk ruangan tamu. “Lihat saja dibawah meja, ” tuturnya sembari lantas. Waktu mencari-cari koran tersebut kugunakan saat untuk lihat paha serta postur badannya dari dekat. 

Ah, putih mulus semuanya. Buah dada yang cocok dengan badannya. Tingginya sekitaran 160 cm dengan badan langsing tertangani, serta buah dadanya kukuh menempel di badan dengan pasnya. “Aku menginginkan dada itu, ” kataku membatin. Saya memikirkan Marta dalam kondisi telanjang. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah gravitasi. 

“Heh! Kok anda ngeliatin saya seperti gitu?! Saya bilangin Vina lho!, ” Marta menghardik. Serta saya cuma terbengong-bengong mendengar hardikannya. Saya tidak mampu berucap walaupun cuma untuk menyanggah. Bibirku membeku, malu, takut Marta bakal menyampaikan ini semuanya ke Vina. “Apa anda melotot demikian, ingin ngancem?! Hah! ” “Astaga, Marta, anda.. anda salah kira, ” kataku tergagap. 

Jawabanku yang penuh kegamangan itu jadi bikin Marta semakin naik pitam. “Saya bilangin anda ke Vina, tentu saya bilangin! ” tuturnya 1/2 berteriak. Mendadak saja Marta beralih jadi sangar. Kekalemannya seperti hilang serta mungkin dia terasa harga dianya dilecehkan. Perasaan yang lumrah kupikir-pikir. 

“Marta, maaf, maaf. Betul-betul tidak berniat saya. saya tidak punya maksud apa-apa, ” saya sedikit memohon. “Ta, tolong dong, janganlah katakan Vina, kan hanya ngeliatin doang, itu juga tidak berniat. Cocok saya lagi ingin ngambil koran dibawah meja, baru saya simak elu, ” kataku mengiba sembari mendekatinya. Marta jadi lebih geram bercampur cemas waktu saya mendekatinya. 

“Kamu ngapain nyamperin saya?! Ingin ngancem? Keluar anda!, ” tuturnya garang. Kondisi yang mencekam ini rupanya membuatku dengan cara tak berniat mendekatinya ke ruangan tamu, serta itu jadi membuatnya cemas. “Duh, Ta, maaf banget nih. Saya tidak ada maksud apa-apa, beneran, ” kataku. 

Tetapi, kondisi sudah beralih, Marta jadi menganggapku tengah mengancamnya. Ia mendorong dadaku dengan keras. Saya kehilangan keseimbangan, saya tidak menginginkan terjatuh ke belakang, kuraih tangannya yang masihlah tergapai waktu mendorongku. Raihan tangan kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan kirinya.Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh, aku pun berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin runyam. “Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu? Lepasin enggak!!,” kata Marta. Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya. Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya. Merasa terancam, Marta malah sekuat tenaga melayangkan tangan kanannya ke arah mukaku, hendak menampar.

Aku lebih cekatan. Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di belakangnya, maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, aku justru menindih tubuh halus itu.

Marta terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya. Untung saja lututku masih mampu menahan pinggulku, namun tanganku tak bisa menahan bagian atas tubuhku karena masih mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa. Jadilah aku menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya. Tercium aroma wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik bibirku mengecup pipinya dengan lembut.

Tak ayal, sepersekian detik itu pula Marta meronta-ronta. Marta berteriak, “Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya. Waduh, runyam banget kalau terdengar tetangga. Yang aku lakukan hanya refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku. Marta berusaha memekik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya, “Hmm!” saja. Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku justru bergerak liar, ingin menggapai wajahku.

Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat memperkosa Marta. Dan, Marta sepertinya pantas untuk diperkosa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di sofa, aku di atasnya dengan posisi mendudukinya namun berhadapan. Kakinya hanya bisa meronta namun tak akan bisa mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki.

Tangan kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan ke sofa, tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa mengenainya, mulutnya tersekap. Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit muncul urat-urat karena usaha Marta untuk memekik, benar-benar membuatku dilanda nafsu tak kepalang.

Aku berpikir bagaimana memperkosanya tanpa harus melakukan berbagai kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar otak keparat, diserang nafsu, dua tiga detik kemudian aku mendapatkan caranya.

Tanpa diduga Marta, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Marta bereaksi, kedua tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke belakang. Kaki Marta yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana pendek itu beserta celana dalam pinknya.

Karena kakinya meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pantatnya saat aku meloncat mundur. Celana pendek dan celana dalam pink itu pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Marta. Astaga! Berhasil! Marta jadi setengah bugil. Satu dua detik Marta pun sempat terkejut dan terdiam melihat situasi ini.

Kugunakan kelengahan itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celana dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Marta sadar, dia hendak memekik dan meronta lagi, namun aku telah siap. Kali ini kubekap lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di antara kakinya.

Posisi kaki Marta jadi menjepit tubuhku, karena dia sudah tak bercelana, aku bisa melihat vaginanya dengan kelentit yang cukup jelas. Jembutnya hanya menutupi bagian atas vagina. Marta ternyata rajin merawat alat genitalnya. Pekikan Marta berhasil kutahan. Sambil kutekan kepalanya di sandaran sofa, aku berbisik,

“Marta, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi saya perkosa?” Marta tiba-tiba melemas. Dia menyadari keadaan yang saat ini berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Marta cuma berujar sambil mengisak, “Dodi, please.. Jangan diapa-apain saya.

Ampun, Di. saya enggak akan bilang Vina. Beneran.” Namun, keadaan sudah kepalang basah, syahwatku pun sudah di ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya dengan berusaha mencium bibirnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku langsung saja menelusup ke selangkangannya. Marta tak bisa mengelak.

Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vaginanya, saat itulah titik balik segalanya. Marta seperti terhipnotis, tak lagi bergerak, hanya menegang kaku, kemudian mendesis halus tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah. Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan telunjukku di vaginanya.

Aku permainkan kelentitnya dengan ujung-ujung jari tengahku. Marta berusaha berontak, namun setiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya makin sulit ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam vaginanya. Kukocokkan perlahan vaginanya dengan jari tengahku, sambil kucoba untuk mencumbu lehernya.

“Jangan Dod,” pintanya, namun dia tetap mendesah, lalu memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit, membuatku leluasa mencumbui lehernya. Dia tak meronta lagi, tangannya hanya terkulai lemas. Sambil kukocok vaginanya dan mencumbui lehernya, aku membuka resleting celanaku.

“Adik”-ku ini memang sudah menegang sempurna sedari tadi, namun tak sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah berada di antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan penisku ke vaginanya. Marta sebetulnya masih dalam pergulatan batin.

Dia tak bisa mengelak terjangan-terjangan nafsunya saat vaginanya dipermainkan, namun ia juga tak ingin kehilangan harga diri. Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun juga mendesah-desah tak karuan. Aku bisa membaca situasi ini karena dia tetap berusaha memberontak, namun vaginanya malah makin basah. Ini tanda dia tak mampu mengalahkan rangsangan.

Penisku mengarah ke vaginanya yang telah becek, saat kepala penis bersentuhan dengan vagina, Marta masih sempat berusaha berkelit. Namun, itu semua sia-sia karena tanganku langsung memegangi pinggulnya. Dan, kepala penisku pun masuk perlahan. Vagina Marta seperti berkontraksi. Marta tersadar, “Jangan..” teriaknya atau terdengar seperti rintihan. Rasa hangat langsung menyusupi kepala penisku.

Kutekan sedikit lebih keras, Marta sedikit menjerit, setengah penisku telah masuk. Dan satu sentakan berikutnya, seluruh penisku telah ada di dalam vaginanya. Marta hanya memejamkan mata dan menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tiada tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan perlahan pinggulku, penisku keluar masuk dengan lancarnya.

Terasa vagina Marta mengencang beberapa saat lalu mengendur lagi. Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Marta masih mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke dalam kaosnya dan menyelinap di balik BH dan mendapati onggokan daging yang begitu kenyal dengan kulit yang terasa begitu halus.

Payudara Marta begitu pas di tanganku, tidak terlalu besar tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kuremas perlahan, seirama dengan genjotan penisku di vaginanya. Marta hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu melakukan perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan pinggulku. Aku buka kaos Marta, kemudian BH-nya, Marta menurut.

Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Marta putih menguning langsat dengan payudara yang kencang dan lingkaran di sekitar pentilnya berwarna merah jambu Pentil itu sendiri berwarna merah kecokelatan. Tak menunggu lama, kubuka kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil tetap menggoyang lembut pinggulku, membiarkan penisku merasai seluruh relung vagina Marta.

Sambil aku bergoyang, aku mengulum pentil di payudaranya dengan lembut. Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya dengan lidahku, namun seluruh permukaan bibirku membentuk huruf O dan melekat di payudaranya. Ini semua membuat Marta mendesah lepas, tak tertahan lagi.

Aku mulai mengencangkan goyanganku. Marta mulai makin sering menegang, dan mengeluarkan rintihan, “Ah.. ah..” Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua tangan Marta yang sedang mencengkeram jok kursi malah menjambak kepalaku.

“Aaahh,” lenguhan panjang dan dalam keluar dari mulut mungil Marta. Ia sampai pada puncaknya. Lalu tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas di pundakku. Aku makin intens menggoyang pinggulku. Kurasakan penisku berdenyut makin keras dan sering.

Bibir Marta yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan itu pun kulumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Marta membalasnya dengan lumatan juga. Kami saling berpagut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku tetap berada di payudaranya, meremas-remas, dan sesekali mempermainkan putingnya.

Vagina Marta kali ini cukup terasa mencengkeram penisku, sementara denyut di penisku pun semakin hebat. “Uhh,” aku mengejang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras, penisku menghujam keras ke dalam vaginanya, mengiringi muncratnya spermaku ke dalam liang rahimnya.

Tepat saat itu juga Marta memelukku erat sekali, mengejang, dan menjerit, “Aahh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya, namun kali ini berbarengan dengan ejakulasiku. Marta terkulai di sofa, dan aku pun tidur telentang di karpet. Aku telah memperkosanya.

Marta awalnya tak terima, namun sisi sensitif yang membangkitkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan di vaginanya. Ternyata, dia sudah pernah bercinta dengan kekasihnya terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah menjadi orang kedua yang menyetubuhinya.

Grreekk. Suara pagar dibuka. Vina datang! Astaga! aku dan Marta masih bugil di ruang tamu, dengan baju dan celana yang terlempar berserakan.. END 

Related Posts

Vina datang Astaga, mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya
4/ 5
Oleh

Cewek Bisyar, cerita selingkuh dengan teman kantor, Toket tante, cerita cewek bispak, cerita sex dewasa, cerita sex dokter, cerita sex Tante, cerita setengah baya, cerita toket, ngentot basah.